BAB ii
ISI
A. Pengertian Tujuan dan Kedudukan
Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari
kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai
secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu'jam al-Falsafi,
Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni
cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni
yang sangat kasih atau penyayang.
Selain itu al-mahabbah dapat
pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan
untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti
cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada
anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau
seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat
pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.
Kata mahabbah tersebut selanjutnya
digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam
hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak
arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan
arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya
kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi
tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut:
المحبة حالة شريفة شهد الحق سبحانه
بها للعبد واخبر عن محبته للعبد فالحق سبحانه يوصف بأنه يحب العبد والعبد يوصف
بأنه يحب الحق سبحانه
Artinya : “al-Mahabbah adalah
merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya
(kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga
menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai
Allah SWT”.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada
hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk irodah dan
rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat
yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah
adalah cintai yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat
duniawi, sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus,
keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan
segalanya.
Selanjutnya Harun Nasution
mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta
kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan
kepada mahabbah antara lain yang berikut:
1. Memeluk
kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan
hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Dilihat dari segi tingkatannya,
mahabbah dikemukakan al-Sarraj, sebagian dikutip Harun Nasution, ada. tiga
macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang
yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan
zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog
dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah
cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada
ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan
diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang
ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan
dengan dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup
menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan
perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang
arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul
karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta,
tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam
diri yang mencintai.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut
tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal
sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan
leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu
kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya
cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.
Dengan uraian tersebut kita dapat
memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang
mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifar-sifat yang dicintai (Tuhan)
masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan
oleh jiwa. Selain itu uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah
merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih,
perasaan takut dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam, karena hal
ini bukan diperoleh atas usaha manusia tetapi terdapat sebagai anugerah dan
rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat
sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam
perjalanannya mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat
yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu
berdampingan dengan ma'rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam
pengertiannya. Kalau ma'rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan
melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan
dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan
cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan
kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa
bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut
al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma'rifah kepada Tuhan.
Pendapat yang terakhir ini ada juga
benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan
di atas. Apa yang disebut sebagai ma'rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya
sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagaimana dikemukakan al-Sarraj di atas,
sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian
kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma'rifah.
B. Alat untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf menjawabnya dengan
menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi
rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah
dan Mistisis dalam Islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma'rifah
oleh sufi disebut sir. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun
Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat
dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb hati
sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai
alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada
roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di
roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima
iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan
kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat
diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sucilah
dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada
segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai
Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam
kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu
sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh
itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ
مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً {الإسراء :85}
Artinya : “Mereka itu bertanya
kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan,
tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali”. (QS. al-Isra', 17: 85).
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن
رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ {الحجر : 29}
Artinya : “Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku,
maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud”. (QS. al-Hijr, 15: 29).
Selanjutnya di dalam hadits pun
diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh oleh Tuhan, pada saat manusia
berada dalam usia empat bulan di dalam kandungan. Hadis tersebut selengkapnya
berbunyi:
إن الناس يجمع خلقه فى بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم يكون علقة مثل
ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح
Artinya : “Sesungguhnya manusia
dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam
bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segumpal daging yang
menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah
(segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluh hari,
kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya”. (HR. Bukhari-Muslim).
Dua ayat dan satu hadits tersebut
di atas selain menginformasikan bahwa manusia dianugerahi roh oleh Tuhan, juga
menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada
Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk
mencintai Tuhan.
C. Tokoh yang Mengembangkan
Mahabbah
Hampir seluruh literatur bidang
tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah
Rabi'ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang
menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang
zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Ia hidup antara tahun
713-801 H. Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia pada tahun 185
H./796 M. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan.
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup
duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang
diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia
selalu menolak lamaran-lamaran pria salih, dengan mengatakan: "Akad nikah
adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak
ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud
dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan
firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku". Rabi'ah
tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan Tuhan. Ketika sakit ia berkata
kepada tamu yang menanyakan sakitnya : "Demi Allah aku tak merasa sakit,
lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati,
dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang
dapat membuatku bahagia."
Cinta Rabi'ah yang tulus tanpa
mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan doa-doa yang
disampaikannya. Ia misalnya berdoa "Ya Tuhanku, bila aku menyembah-Mu
lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku
menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; namun
jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Engkau tutup Keindahan
Abadi-Mu.
Kecintaan Rabi'ah pada Tuhan
terlihat pada syairnya berikut ini:
أحبك حبين حب الهوى * وحبا لأنك أهل
لذاكا
فأما الذي هو حب الهوى * فشغلى بذكرك
عمن سواكا
وأما الذي أنت أهل له * فكشفك لى
الحجب حتى أراكا
فلا الحمد فى ذا أوذاك فى * ولكن لك
الحمد فى ذاوذاكا
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta.
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah
keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah ke-adaan-Mu
mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu
pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.
يا حبيب القلب مالى سواكا
فارحم اليوم مذنيا قد أتاكا
يا رجائى وراحتى وسرورري
قد أبى القلب أن يحب سواكا
Buah hatiku, hanya Engkaulah yang
kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah
harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain
dari Engkau.
Dalam syairnya yang lain ia
mengatakan :
Kucintau Engkau lantaran aku cinta,
Dan lantaran Kamu patut dicintai,
Cintakulah yang membuat rindu
kepada-Mu
Demi cinta suci ini, sibakkanlah
tabir penutup
tatapan sembahku. Janganlah Kau
puji aku lantaran itu
Bagi-Mulah segala puji dan puji.
Atas syair-syair tersebut,
al-Ghazali mengatakan: "Barangkali yang ia maksud dengan cinta kerinduan
itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang, rahmat dan iradah Allah
telah sampai kepadanya". Karena Allah telah menganugerahkan roh, sehingga
ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut ia ucapkan
pada saat telah datang keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya
pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu
malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam
diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang
selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
D. Mahabbah dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits
Paham mahabbah sebagaimana
disebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Qur'an. Banyak ayat-ayat
dalam al-Qur'an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat
saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Artinya : “Jika kamu cinta kepada Allah, maka
turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu”. (QS. Ali 'Imran, 3: 31).
يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ
Artinya : “Allah akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”. (QS. al-Maidah, 5:54).
Di dalam hadis juga dinyatakan
sebagai berikut:
ولا يزال عبدى يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه ومن
أحببته كنت له سمعا وبصرا ويدا
Artinya : “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri
kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga aku cinta padanya. Orang yang
kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.
Kedua ayat dan satu hadits tersebut
di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling
mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh
Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu
dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pada
saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai
yang digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai
keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh.
Emperor Casino: $4000 Free + 500$ Bonus | Shootercasino
BalasHapusThere is 제왕 카지노 nothing more appealing about an Emperor Casino as งานออนไลน์ a great place to play with 메리트 카지노 tons of games and bonuses. They offer great sign up bonuses