komputasi gerak harmonik

Jumat, 05 Oktober 2012

Mahhabah


BAB ii
ISI

A.  Pengertian Tujuan dan Kedudukan Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu'jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan ke­pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut:

المحبة حالة شريفة شهد الحق سبحانه بها للعبد واخبر عن محبته للعبد فالحق سبحانه يوصف بأنه يحب العبد والعبد يوصف بأنه يحب الحق سبحانه
Artinya : “al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT”.

Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk irodah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah cintai yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahab­bah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
1.  Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.  Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.  Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah dike­mukakan al-Sarraj, sebagian dikutip Harun Nasution, ada. tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa meng­ambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dengan dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifar-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam, karena hal ini bukan diperoleh atas usaha manusia tetapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma'rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma'rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma'rifah kepada Tuhan.
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut sebagai ma'rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah tingkat kedua sebagaimana dikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demi­kian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma'rifah.

B.  Alat untuk Mencapai Mahabbah
 Para ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam Islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma'rifah oleh sufi disebut sir. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sucilah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengeta­hui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً {الإسراء :85}
Artinya : “Mereka itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali”. (QS. al-Isra', 17: 85).

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ {الحجر : 29}
Artinya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud”. (QS. al-Hijr, 15: 29).

Selanjutnya di dalam hadits pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh oleh Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan di dalam kandungan. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi:

إن الناس يجمع خلقه فى بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح

Artinya : “Sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kan­dungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segumpal daging yang menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, ke­mudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya”. (HR. Bukhari-Muslim).

Dua ayat dan satu hadits tersebut di atas selain menginformasikan bahwa manusia dianugerahi roh oleh Tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.

C.  Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi'ah al-Adawiyah. Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.
Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H. Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia pada tahun 185 H./796 M. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih, dengan mengatakan: "Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku". Rabi'ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya : "Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang dapat membuatku bahagia."
Cinta Rabi'ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa "Ya Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku me­nyembah-Mu hanya demi Engkau, maka janganlah Engkau tutup Keindahan Abadi-Mu.
Kecintaan Rabi'ah pada Tuhan terlihat pada syairnya berikut ini:

أحبك حبين حب الهوى * وحبا لأنك أهل لذاكا
فأما الذي هو حب الهوى * فشغلى بذكرك عمن سواكا
وأما الذي أنت أهل له * فكشفك لى الحجب حتى أراكا
فلا الحمد فى ذا أوذاك فى * ولكن لك الحمد فى ذاوذاكا 

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah ke-adaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.

يا حبيب القلب مالى سواكا
فارحم اليوم مذنيا قد أتاكا
يا رجائى وراحتى وسرورري
قد أبى القلب أن يحب سواكا

Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.


Dalam syairnya yang lain ia mengatakan :
Kucintau Engkau lantaran aku cinta,
Dan lantaran Kamu patut dicintai,
Cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu
Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup
tatapan sembahku. Janganlah Kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mulah segala puji dan puji.

Atas syair-syair tersebut, al-Ghazali mengatakan: "Barangkali yang ia maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang, rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya". Karena Allah telah menganugerahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.

D.  Mahabbah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan di atas mendapatkan tempat di dalam al-Qur'an. Banyak ayat-ayat dalam al-Qur'an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ

Artinya : “Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu”. (QS. Ali 'Imran, 3: 31).

يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

Artinya : “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”. (QS. al-Maidah, 5:54).

Di dalam hadis juga dinyatakan sebagai berikut:

ولا يزال عبدى يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه ومن أحببته كنت له سمعا وبصرا ويدا

Artinya : “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.
Kedua ayat dan satu hadits tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada pada ma­nusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahab­bah. Ayat dan hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

1 komentar:

  1. Emperor Casino: $4000 Free + 500$ Bonus | Shootercasino
    There is 제왕 카지노 nothing more appealing about an Emperor Casino as งานออนไลน์ a great place to play with 메리트 카지노 tons of games and bonuses. They offer great sign up bonuses

    BalasHapus